Dalam beberapa tahun terakhir, dunia esports berkembang menjadi industri bernilai miliaran, menghadirkan liga profesional, sistem kompetisi berlapis, hingga ekosistem komunitas yang semakin rapi.
Namun perkembangan ini juga memunculkan sebuah fenomena yang terus menjadi perdebatan, yaitu kehadiran pemain esports Tier 1 atau mantan pemain profesional yang turun ke turnamen komunitas sebagai prize hunter.
Meskipun secara teknis beberapa turnamen tidak memiliki regulasi ketat, praktik ini hampir selalu mengundang kontroversi dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai etika serta keadilan dalam kompetisi.
Menghambat Pertumbuhan Talenta Amatir
Turnamen komunitas pada dasarnya dibangun sebagai wadah pengembangan talenta baru. Di sinilah para pemain amatir, tim kampus, atau skuad Tier 3 dan Tier 2 memulai perjalanan mereka menuju level yang lebih tinggi.
Turnamen grassroots menjadi tempat untuk mengasah kemampuan, membangun chemistry, hingga mendapatkan panggung pertama sebelum akhirnya ditemukan oleh organisasi besar. Ketika pro player Tier 1 turun ke ranah ini, situasinya berubah drastis karena kesenjangan pengalaman, mekanik, dan jam terbang membuat persaingan menjadi tidak seimbang.
Tim amatir yang seharusnya punya peluang meraih panggung kecil, justru harus bertemu pemain yang terbiasa bermain di panggung internasional.
Isu Keadilan dan Reputasi

Selain itu, prize hunting oleh pemain papan atas sering dianggap merugikan komunitas. Pro player Tier 1 umumnya memiliki sumber pendapatan yang jauh lebih stabil melalui gaji organisasi, sponsor, streaming, dan bonus turnamen resmi. Hadiah turnamen komunitas yang relatif kecil biasanya ditujukan untuk memotivasi pemain amatir atau menghidupkan skena lokal.
Ketika seorang pemain profesional ikut serta dan membawa pulang hadiah tersebut, banyak yang menganggapnya sebagai tindakan tidak sportif dan merampas kesempatan pemain pemula untuk berkembang. Risiko lain juga membayangi pro player yang nekat turun ke turnamen amatir, yaitu reputasi menjadi taruhannya.
Publik akan menilai mereka sebagai sosok yang tidak profesional atau sekadar mencari keuntungan dari ajang yang bukan level mereka.
Regulasi Publisher dan Pengecualian
Menanggapi fenomena ini, publisher game pun mulai memperketat regulasi. Banyak kompetisi grassroots kini mewajibkan peserta untuk tidak sedang aktif dalam liga profesional, tidak terikat kontrak Tier 1, atau tidak memiliki riwayat bermain di kompetisi top dalam beberapa bulan terakhir.
Langkah ini bukan untuk membatasi kebebasan pro player, melainkan memastikan turnamen komunitas tetap menjalankan fungsi utamanya, yaitu memberikan kesempatan kepada talenta baru untuk berkembang tanpa rasa takut menghadapi pemain kelas dunia.
Namun demikian, ada pengecualian. Kehadiran pro player di turnamen komunitas masih diperbolehkan untuk acara charity, fun match, atau event hiburan yang memang dibangun guna menghadirkan interaksi santai antara pemain profesional dan komunitas.
Secara keseluruhan, fenomena prize hunting oleh pro player Tier 1 di turnamen komunitas adalah isu yang melibatkan etika, aturan, dan tanggung jawab dalam menjaga kesehatan ekosistem esports. Jika esports ingin terus tumbuh sebagai industri yang profesional dan berkelanjutan, menjaga batas antara level kompetisi profesional dan komunitas menjadi langkah penting yang tidak boleh diabaikan.
